Pages

RIZKY PUTRI JANNATI

Rabu, 26 Agustus 2015


PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI) INDONESIA


Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu berkompetisi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga pendidikan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk memperoleh hasil maksimal. Pendidikan hendaknya dikelola, baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut dapat dicapai dengan terlaksananya pendidikan yang tepat waktu dan tepat guna untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Sejalan dengan upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekolah merupakan lembaga formal penyelenggara pendidikan. Sekolah Dasar (SD) sebagai salah satu lembaga formal dasar yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan Nasional mengemban misi dasar dalam memberikan kontribusi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk proses belajar mengajar yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sekolah. Melalui kegiatan pengajaran, siswa-siswi SD yang berada pada tahap operasi konkrit sudah semestinya dibekali dengan ilmu pengetahuan dasar dan keterampilan dasar yang dalam hal ini adalah mata pelajaran yang tercantum dalam kurikulum SD/MI untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya pada jenjang pendidikan selanjutnya.
Pengajaran di kelas tidak terlepas dari aktivitas belajar siswa. Melalui aktivitas belajar tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengalaman belajar sehingga proses pembelajaran akan menjadi lebih bermakna bagi siswa. Pelaksanaannyapun harus dilaksanakan dengan pendekatan belajar yang relevan dengan paradigma pendidikan sekarang.
Paradigma baru pendidikan sekarang ini lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi (Zamroni, 2000). Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan pendekatan dalam pembelajaran matematika yang sesuai dengan paradigma pendidikan sekarang. PMRI menginginkan adanya perubahan dalam paradigma pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar menjadi paradigma belajar (Marpaung, 2004).
PMRI selama ini merupakan sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang relatif baru dan belum semua kalangan dalam dunia pendidikan mengenalnya. Selama beberapa tahun belakangan sampai sekarang. PMRI telah diuji coba terbatas di kelas I, II dan III. Kemudian mulai tahun pelajaran 2002/2003 baru dilakukan uji coba penuh di beberapa Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Indonesia dengan hasil yang sangat menggembirakan. Saat ini pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik untuk kelas lainnya masih diujicobakan.
SD Islam Sabilal Muhtadin merupakan salah satu sekolah di Indonesia yang telah melaksanakan pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik di kelas I dan II sejak tahun pelajaran 2003/2004. Seperti halnya di beberapa sekolah di Indonesia, pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik untuk kelas IV masih diujicobakan.
Pembelajaran matematika selama ini terlalu dipengaruhi pandangan bahwa matematika adalah alat yang siap pakai. Pandangan ini mendorong guru bersikap cenderung memberi tahu konsep/ sifat/ teorema dan cara menggunakannya. Guru cenderung mentransfer pengetahuan yang dimiliki ke pikiran anak dan anak menerimanya secara pasif dan tidak kritis. Adakalanya siswa menjawab soal dengan benar namun mereka tidak dapat mengungkapkan alasan atas jawaban mereka. Siswa dapat menggunakan rumus tetapi tidak tahu dari mana asalnya rumus itu dan mengapa rumus itu digunakan. Keadaan demikian mungkin terjadi karena di dalam proses pembelajaran tersebut siswa kurang diberi kesempatan dalam mengungkapkan ide-ide dan alasan jawaban mereka sehingga kurang terbiasa untuk mengungkapkan ide-ide atau alasan dari jawabannya.
Perubahan cara berpikir yang perlu sejak awal diperhatikan ialah bahwa hasil belajar siswa meruapakan tanggung jawab siswa sendiri. Artinya bahwa hasil belajar siswa dipengaruhi secara langsung oleh karakteristik siswa sendiri dan pengalaman belajarnya. Tanggung jawab langsung guru sebenarnya pada penciptaan kondisi belajar yang memungkinkan siswa memperoleh pengalaman belajar yang baik (Marpaung, 2004). Pengalaman belajar akan terbentuk apabila siswa ikut terlibat dalam pembelajaran yang terlihat dari aktivitas belajarnya.
PMRI juga menekankan untuk membawa matematika pada pengajaran bermakna dengan mengkaitkannya dalam kehidupan nyata sehari-hari yang bersifat realistik. Siswa disajikan masalah-masalah kontekstual, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi realistik. Kata realistik disini dimaksudkan sebagai suatu situasi yang dapat dibayangkan oleh siswa atau menggambarkan situasi dalam dunia nyata (Zulkarnain, 2002).
Aktivitas belajar yang terjadi dalam pembelajaran dengan pendekatan belajar yang relatif baru ini menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Berdasarkan uraian di atas saya tertarik untuk menggambarkan fenomena tentang aktivitas belajar siswa kelas IV A SD Islam Sabilal Muhtadin Banjarmasin dengan menggunakan pendekatan PMRI. Penelitian ini berjudul “AKTIVITAS BELAJAR SISWA DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK DALAM PEMBELAJARAN PECAHAN PADA KELAS IV SD ISLAM SABILAL MUHTADIN BANJARMASIN TAHUN PELAJARAN 2004 / 2005 “.
1.2 Perumusan Masalah dan Batasan Masalah
1.2.1 Perumusan Masalah
Masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana aktivitas belajar siswa kelas IV di SD Islam Sabilal Muhtadin Banjarmasin dalam pembelajaran matematika pada materi pecahan dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) berdasarkan karakteristik-karakteristik PMRI.
1.2.2 Batasan Masalah
Agar permasalahan dalam penelitian ini tidak meluas maka masalah dibatasi hanya untuk aktivitas belajar siswa saat proses belajar mengajar yaitu pada hari Selasa 5 April 2005 dan hari Rabu 6 April 2005.
1.3 Penegasan Istilah
Aktivitas belajar siswa yang dimaksud dalam kegiatan pembelajaran di kelas IV SD Islam Sabilal Muhtadin Banjarmasin meliputi aktivitas fisik dan psikis berdasarkan karakteristik-karakteristik Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana aktivitas belajar siswa kelas IV SD Islam Sabilal Muhtadin Banjarmasin dalam pembelajaran matematika pada materi pecahan dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :
(1) Bagi sekolah tempat penelitian, sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan dan penyempurnaan program pengajaran matematika di sekolah.
(2) Bagi guru mata pelajaran, sebagai informasi tentang suatu pendekatan pembelajaran dalam upaya meningkatkan kualitas pengajaran.
(3) Bagi peneliti, sebagai pengalaman langsung dalam pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan realistik.
(4) Bagi siswa, sebagai motivasi untuk meningkatkan kemampuannya khususnya dalam pelajaran matematika.
(5) Sebagai gambaran pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan PMRI.
(6) Sebagai bahan acuan untuk melengkapi penelitian selanjutnya yang berkaitan.
(7) Sebagai sumbangan peneliti untuk proses sosialisasi PMRI.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengajaran
Pengajaran merupakan bagian dalam proses pembelajaran. Pelaksanaan pengajaran di kelas semestinya selalu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengeksplorasikan pengalaman dan pengetahuannya dalam suatu tindakan nyata.
Rohani dan Ahmadi (1995) menyatakan bahwa pengajaran merupakan perpaduan dari dua aktivitas, yaitu : aktivitas mengajar dan aktivitas belajar. Aktivitas mengajar menyangkut peran seorang guru dalam konteks mengupayakan terciptanya jalinan komunikasi harmonis antara mengajar itu sendiri dengan belajar. Jalinan komunikasi yang harmonis inilah yang menjadi indikator suatu aktivitas dalam proses pengajaran itu baik. Sedangkan aktivitas belajar berhubungan dengan berbagai aktivitas yang melibatkan aktivitas raga dan indera seperti ; mendengarkan, memandang, meraba, menulis atau mencatat, membaca, membuat ikhtisar atau ringkasan dan menggarisbawahi, mengamati tabel-tabel, diagram-diagram dan bagan-bagan, menyusun kertas kerja, mengingat, berpikir, latihan atau praktek, meraba, mencium dan mengecap/ mencicipi (Djamarah, 2002).
Menurut pandangan William H.Burton yang sejalan dengan Gagne dan Briggs (Rusyan dkk, 1994), dalam pengajaran hal yang penting bukan upaya guru menyampaikan bahan, melainkan bagaimana siswa dapat aktif mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Hal ini berarti upaya seorang guru hanya merupakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar. Dalam hal ini peranan guru bukan sebagai penyampai informasi, melainkan sebagai pengarah dan pemberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar.
Suatu pengajaran akan bisa disebut berjalan dan berhasil secara baik manakala mampu mengubah peserta didik dalam arti luas serta mampu menumbuhkembangkan kesadaran peserta didik untuk belajar sehingga pengalaman yang diperoleh selama ia terlibat dalam proses pembelajaran akan dapat dirasakan manfaatnya secara langsung bagi perkembangan pribadinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengajaran mutlak harus diwarnai oleh keterlibatan individu anak didik.
2.2 Pengertian Belajar
Jika kita telaah dari berbagai sumber, maka diperoleh pengertian-pengertian yang berbeda tentang belajar. Hal itu tergantung dari sumber dan cara pandang dalam merumuskan pengertian belajar tersebut. Selain itu juga tergantung dari wawasan dan cara pandang yang berbeda dari setiap orang.
Burton dalam bukunya “The Guadance of Learning Activity“ (Usman & Setiawati, 1993) menyatakan bahwa belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya. Dalam pengertian ini terdapat kata “perubahan“ yang berarti bahwa seseorang yang telah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuan, aspek afektif maupun keterampilan.
Slameto (1995) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Selanjutnya Sudjana (1995) memberikan pengertian belajar sebagai suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan serta perubahan aspek-aspek lain pada individu yang belajar.
Dengan demikian dapat disimpulkan rumusan tentang belajar yaitu :
(a) Belajar akan membawa perubahan.
(b) Perubahan terjadi karena adanya suatu usaha dan proses yang menimbulkan pengalaman.
(c) Dari perubahan diperoleh kecakapan baru.
2.3 Aktivitas Belajar
Aktivitas belajar pada dasarnya tidak hanya terjadi di dalam kegiatan intern belajar mengajar, tetapi juga terjadi di luar kegiatan tersebut. Namun aktivitas belajar yang konkrit dan lebih bisa diamati yaitu aktivitas belajar siswa ketika kegiatan belajar mengajar dilaksanakan. Pengalaman belajar hanya mungkin diperoleh jika peserta didik dengan keaktifannya sendiri bereaksi dan berinteraksi terhadap lingkungannya.
Teori Gestalt yang merupakan teori belajar menyatakan bahwa manusia mengenal lingkungannya melalui proses kognitif dengan memahami stimulus berdasarkan struktur mentalnya. Tiap kelakuan betapapun sederhananya seperti persepsi ataupun pengamatan merupakan perbuatan intelegen. Proses kognitif adalah melihat dan menciptakan hubungan berkat pengalamannya yang lampau. Manusia tidak pasif menghadapi situasi, tergantung pada tujuannya dan struktur mentalnya (Nasution, 2003)
Bruner mengungkapkan bahwa dalam proses belajar, anak melakukan aktivitas dengan melihat kemudian dihubungkan dengan keterangan intuitif yang ada pada dirinya (Tim MKPBM, 2001). J.Piaget (Rohani & Ahmadi, 1995) seorang pakar psikologi ternama berpendapat bahwa seorang anak berpikir sepanjang ia berbuat, tanpa berbuat anak tak berpikir. Melalui perbuatan, perhatian dan pikiran anak akan lebih tertuju apa yang dikerjakannya dan pada akhirnya akan memberikan pengalaman dan pengetahuan baru.
Proses pembentukan pengalaman dan pengetahuan tersebut, tidak terbentuk dengan sendirinya namun harus melalui suatu proses. Begitu pula dengan pengetahuan tentang matematika. Pengetahuan tentang matematika terbentuk tidak dengan menerima saja apa yang diajarkan dan menghapalkan rumus-rumus dan metode-metode yang diberikan, melainkan dengan membangun makna dari apa yang dipelajari (Susilo ,2004).
Selanjutnya Rohani dan Ahmadi (1995) mengklasifikasikan aktivitas belajar siswa menjadi :
(a) Aktivitas fisik
Peserta didik giat dan aktif dengan anggota badan, membuat sesuatu, bermain ataupun bekerja, ia tidak hanya duduk mendengarkan, melihat atau hanya pasif.
(b) Aktivitas psikis
Peserta didik yang memiliki aktivitas psikis adalah jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya atau banyak berfungsi dalam rangka pengajaran. Seluruh peranan dan kemauan dikerahkan dan diarahkan supaya daya serap itu tetap aktif untuk mendapatkan hasil pengajaran yang optimal sekaligus mengikuti proses pengajaran (proses pengolahan hasil pelajaran) secara aktif ; ia mendengarkan, mengamati, menyelidiki, mengingat, mengasosiasikan dan sebagainya.
Dalam proses belajar mengajar yang mengaktifkan siswa, siswa berperan lebih aktif. Siswa berperan sebagai subjek yang berinteraksi bukan hanya dengan guru tetapi dengan sesama siswa, buku-buku serta media lainnya (Ibrahim & Syaodih, 2003).
Dengan demikian dalam pembelajaran siswa diharapkan aktif mencari, menyelidiki, merumuskan, menguji, membuktikan, mengaplikasikan, menjelaskan dan memberikan interpretasi terhadap apa yang dipelajari. Semua hal tersebut diperoleh siswa dengan mengumpulkan dan mempergunakan informasi baru untuk mengubah, melengkapi atau menyempurnakan pemahaman yang tertanam sebelumnya dan dengan memanfaatkan keleluasaan yang diberikan untuk melakukan eksperimen-eksperimen, termasuk di dalamnya kemungkinan untuk berbuat salah dan belajar dari kesalahan itu.
2.4 Pengajaran Matematika di Sekolah Dasar
Matematika berasal dari bahasa latin manthanien atau mathema yang berarti belajar atau hal yang dipelajari, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut
wiskunde atau ilmu pasti (Depdiknas, 2001).
Tim MKPBM (2001) menyatakan bahwa matematika merupakan telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola pikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat. Berdasarkan penelitian Piaget, ada empat tahap dalam perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis yaitu (1) tahap sensori motor (2) tahap pra operasi (3) tahap operasi konkrit dan (4) tahap operasi formal. Tahap sensori motor dimulai sejak lahir sampai umur sekitar 2 tahun dimana pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indera). Tahap praoperasi dimulai sekitar umur 2 tahun sampai sekitar umur 7 tahun yang merupakan tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit seperti mengklasifikasikan, mengurutkan dan membilang. Pada tahap operasi konkrit, tahap ini dimulai sekitar umur 7 tahun sampai sekitar umur 11 tahun dimana anak memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit dan anak sudah memiliki sudut pandang yang berbeda secara objektif dalam mengamati suatu objek. Tahap operasi formal dimulai sekitar umur 11 tahun dan seterusnya dimana anak akan dibiasakan untuk melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak.
Siswa kelas IV sekolah dasar umumnya berusia sekitar 9 sampai 10 tahun. Dengan demikian siswa kelas IV berada pada tahap operasi konkrit, dimana anak mempunyai struktur kognitif yang memungkinkan anak bisa berpikir untuk berbuat. Namun apa yang difikirkan anak masih terbatas pada hal-hal yang bersifat konkrit atau nyata. Benda-benda atau kejadian-kejadian yang tidak dapat dibayangkan siswa masih sulit untuk dipikirkan.
Susento (2004) mengorganisasikan pembelajaran matematika sebagai suatu alur seperti nampak pada gambar 1.
untitled3
Gambar 1. Organisasi Kegiatan Matematika di Kelas
Dari gambar dapat dilihat bahwa kegiatan matematika ini disusun menjadi serangkaian pembelajaran yang dapat membawa siswa dan realitas yang dikenal secara nyata menuju matematika formal. Titik awal dalam pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang realitas bagi anak. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan enaktif berupa pemecahan masalah kontekstual yang melibatkan benda konkret dan tindakan fisik anak. Dalam kegiatan ikonik, anak mendeskripsikan dan memecahkan masalah kontekstual dengan memakai model gambar berupa skema atau gambaran situasi. Kematangan anak dalam kegiatan ikonik akan membawanya ke kegiatan simbolik dimana anak akan melibatkan penggunaan simbol untuk menyatakan penalaran. Simbol yang digunakan tidak harus baku karena merupakan ciptaan anak berkat pengalaman matematisasinya. Akan tetapi langkah ini akan menjadikan anak siap mengenal simbol-simbol baku dalam matematika formal.
Rangkaian kegiatan pembelajaran ini memuat tahap-tahap seperti yang dikemukakan Bruner (TIM MKPBM, 2001) yang harus dilewati anak dalam proses belajarnya. Tahap-tahap tersebut yaitu ; (a) tahap enaktif, dimana dalam tahap ini anak secara langsung terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. (b) tahap ikonik, dimana dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek yang dimanipulasinya. (c) tahap simbolik, dimana dalam tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya.
Apabila pada diri anak telah terbentuk pengetahuan formal melalui kegiatan pembelajaran matematika tersebut, anak akan mampu mengembangkan ide dan konsep matematika yang dimulai dari dunia nyata untuk memecahkan suatu permasalahan.
Depdiknas (2001) menyebutkan bahwa peran dan fungsi matematika terutama sebagai sarana mengembangkan kemampuan bernalar dalam memecahkan masalah baik pada bidang matematika maupun dalam bidang lainnya. Oleh karena itu, tujuan umum pendidikan matematika ditekankan agar siswa memiliki :
(1) Kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah matematika, pelajaran lain ataupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata.
(2) Kemampuan menggunakan matematika sebagai alat komunikasi.
(3) Kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat dialihgunakan pada setiap keadaan seperti berpikir kritis, berpikir logis, berpikir sistematis, bersifat objektif, bersifat jujur, bersifat disiplin dalam memandang dan menyelesaikan suatu masalah.
Pengajaran matematika di Sekolah Dasar bertujuan agar siswa mampu :
(1) Melakukan operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian beserta operasi campurannya, termasuk yang melibatkan pecahan.
(2) Menentukan sifat dan unsur berbagai bangun datar dan bangun ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, luas dan volume.
(3) Menggunakan sifat simetri, kesebangunan dan sistem koordinat
(4) Menggunakan pengukuran : satuan, kesetaraan antar satuan dan penaksiran pengukuran.
(5) Menentukan dan menafsirkan (seperti ukuran tertinggi, terendah, rata-rata, modus), mengumpulkan dan menyajikan data sederhana
2.5. Pendidikan Matematika Realistik
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat dipisahkan dari institude Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905-1990), seorang penulis, pendidik dan matematikawan berkebangsaan Jerman-Belanda.
Sejak tahun 1971, Institut ini mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika dan bagaimana matematika harus diajarkan (Hadi, 2005).
Pendidikan matematika realistik dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) yang harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMRI mempunyai ciri antara lain bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (Hadi, 2004).
Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai konteks (situasi) yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar.
Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman metematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa akan dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.
Teori PMRI sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti kontruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, disingkat CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivisme maupun CTL mewakili teori belajar secara umum. PMRI merupakan suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep pendidikan matematika realistik sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar (Hadi, 2004).
Paradigma baru dalam pembelajaran sekarang ini khususnya PMRI menekankan terhadap proses pembelajaran dimana aktivitas siswa dalam mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan yang dia perlukan benar-benar menjadi pengalaman belajar tersendiri bagi setiap individu.
Menurut De Lange, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut (Hadi, 2005) :
(a) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna.
(b) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.
(c) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terdapat persoalan/ masalah yang diajukan.
(d) Pengajaran berlangsung secara interaktif : siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Paradigma baru pendidikan sekarang ini juga lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Dalam PMRI, siswa dipandang sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya sehingga siswa dapat mengembangkan pengetahuan tersebut apabila diberikan kesempatan untuk mengembangkannya. Dengan demikian, siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan.
Hadi (2005) menyatakan bahwa PMRI mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut :
(a) Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
(b) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan untuk dirinya sendiri
(c) Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.
(d) Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
(e) Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
Selain konsepsi tentang siswa, PMRI juga merumuskan peran guru dalam pembelajaran yaitu (Hadi, 2005) :
(a) Guru hanya sebagai fasilitator belajar.
(b) Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif.
(c) Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil.
(d) Guru tidak terpaku pada materi yang terdapat dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil baik fisik maupun sosial.
Berdasarkan aspek-aspek pembelajaran, konsepsi siswa dan peran guru dalam pembelajaran tersebut mempertegas bahwa PMRI sejalan dengan paradigma baru pendidikan sehingga pantas dikembangkan di Indonesia (Marpaung, 2004).
Van den Huivel-Panhuizen dalam bukunya “Mathematics Education in the Netherland A Guide Tour” (Marpaung, 2004) menyebutkan prinsip-prinsip PMRI yaitu :
(1) Prinsip Aktivitas
Prinsip ini menyatakan bahwa aktivitas matematika paling banyak dipelajari dengan melakukannya sendiri.
(2) Prinsip Realitas
Prinsip ini menyatakan bahwa pembelajaran matematika dimulai dari masalah-masalah dunia nyata yang dekat dengan pengalaman siswa (masalah yang realitas bagi siswa).
(3) Prinsip Perjenjangan
Prinsip ini menyatakan bahwa pemahaman siswa terhadap matematika melalui berbagai jenjang; dari menemukan (to invent), penyelesaian masalah kontekstual secara informal ke skematisasi, ke perolehan insign dan selanjutnya ke penyelesaian secara formal.
(4) Prinsip Jalinan
Prinsip ini menyatakan bahwa materi matematika di sekolah sebaiknya tidak dipecah-pecah menjadi aspek-aspek (learning strands) yang diajarkan terpisah-pisah.
(5) Prinsip Interaksi
Prinsip ini menyatakan bahwa belajar matematika dapat dipandang sebagai aktivitas sosial selain sebagai aktivitas individu.
(6) Prinsip Bimbingan
Prinsip ini menyatakan bahwa dalam menemukan kembali (reinvent) matematika siswa perlu mendapat bimbingan.
De Lange mengungkapkan bahwa teori PMRI terdiri dari 5 (lima) karakteristik (Zulkardi, 1999) yaitu ;
(1) Penggunaan konteks nyata (real context) sebagai starting point dalam pembelajaran untuk dieksplorasi.
(2) Penggunaan model-model.
(3) Penggunaan hasil belajar siswa dan kontruksi.
(4) Interaksi dalam proses belajar atau interaktivitas.
(5) Keterkaitan (connection) dalam berbagai bagian dari materi pelajaran.
2.6 Pembelajaran Pecahan
Materi pecahan merupakan materi yang ada pada kurikulum untuk kelas IV SD / MI. Kompetensi dasar yang akan dikembangkan dalam pembelajaran pecahan di kelas IV adalah mengenal dan menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah. Dari kompetensi dasar tersebut ditargetkan akan terlihat indikator pada siswa dimana siswa mampu menyatakan beberapa bagian dari keseluruhan ke bentuk pecahan, menyajikan nilai pecahan secara visual atau melalui gambar, mengurutkan pecahan (sejenis), membandingkan pecahan sejenis dan menuliskan pecahan pada garis bilangan (Depdiknas, 2003).
Pembelajaran pecahan dengan PMRI menekankan siswa agar dapat memahami konsep pecahan melalui pendekatan realistik, sehingga siswa tidak memandang suatu pecahan hanya sebatas bilangan semata. Siswa mengetahui bahwa pecahan merupakan bagian dari keseluruhan suatu kesatuan utuh. Kegiatan pembelajaran melibatkan siswa aktif untuk menemukan dan mengkontruksi konsep yang menjadi tujuan pembelajaran. Aktivitas nyata dilakukan langsung oleh siswa dengan bimbingan dari guru.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, siswa kelas IV berada pada tahap operasi konkrit, sehingga anak mempunyai struktur kognitif yang memungkinkan anak bisa berpikir untuk berbuat. Kehadiran model (benda) yang sudah dikenal siswa akan membantu siswa lebih memahami konsep dari pembelajaran matematika. Siswa dibimbing untuk membangun sendiri konsep pecahan sebagai suatu pengalaman belajar.
2.7 Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang dilakukan Suhartini (2004) tentang tinjauan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran sub topik pengukuran waktu di kelas II A SD Percobaan 2 Yogyakarta, hasilnya antara lain ditemukan bahwa siswa menggunakan konteks nyata yang biasa dilakukan siswa, siswa mengkontruksi dan menyelesaikan masalah dengan cara mereka. Siswa berdiskusi dan bertanya atau mengemukakan kepada guru ataupun temannya atas masalah yang dihadapinya.
Hasil penelitian Ratini (2005) tentang pembelajaran pecahan dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) di kelas III MIN Yogyakarta II menemukan bahwa terasa sekali siswa dapat menghayati pelajaran tentang pecahan dan dapat memberikan penjelasan, dapat menemukan pecahan lain serta faham mencari dan menemukan cara menjawab suatu masalah serta berkarya dengan kertas-kertas yang yang sudah dipotong-potong menjadi hiasan menarik. Siswa dapat memahami matematika, jiwa seni dan kreatifitas berkembang. Budaya diskusi dan kerja sama mewarnai setiap kegiatan pembelajaran.
Penelitian Armanto (2003) tentang pengembangan alur pembelajaran lokal topik perkalian dan pembagian di dua kota yang berbeda yaitu Yogyakarta dan Medan dengan pendekatan Matematika Realistik menunjukkan bahwa siswa belajar dengan aktif, membangun pemahaman mereka sendiri dengan menggunakan strategi penemuan kembali dan mendapatkan hasil (menyelesaikan soal) baik secara individu maupun kelompok.

sumber : https://h4mm4d.wordpress.com/2009/02/27/pendidikan-matematika-realistik-indonesia-pmri-indonesia/